CCN – City Coverage News

Berita Liputan Kota

Sekolah Rakyat, Sekolah Unggulan, dan Sekolah Negeri yang Terancam Tutup

30 Views

Bekasi Kota, CCN.

Pemerintah berencana membuka dua bentuk institusi pendidikan baru tahun ini: sekolah unggulan Garuda dan sekolah rakyat. Sekolah unggulan dikhususkan bagi anak berprestasi dan cerdas secara “kognitif”. Mereka akan ditempa dengan serius agar dapat melanjutkan kuliah ke luar negeri. Sementara sekolah rakyat dikhusukan bagi peserta didik yang berasal dari keluarga kurang mampu. Seperti halnya sekolah unggulan, sekolah rakyat akan dibuat dalam sistem asrama sehingga pendidikan dapat berlangsung secara formal dan informal dalam pengawasan sekolah 24 jam. Kebijakan membangun dua bentuk instansi pendidikan ini banyak mendapat kritik dari berbagai kalangan. Mulai dari kebijakan yang dinilai tergesa-gesa hingga pada kebijakan yang minim koordinasi antarkementrian. Sementara sekolah unggulan masih belum begitu jelas. Namun, pihak yang sering memberi penjelasan sekolah unggulan adalah Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi (Kemendikti Saintek). Kekhawatiran publik patut dibenarkan. Biasanya kebijakan yang bersentuhan langsung dengan rakyat membutuhkan kajian akademik cukup lama. Dibutuhkan peta jalan yang nantinya akan menentukan ke mana tujuan akhir dari pembangunan dua jenis pendidikan ini. Sejarah sudah membuktikan kegagalan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Kebijakan pendidikan yang kurang memiliki kajian mendalam serta minim persiapan berakhir di tengah jalan. Padahal, pemerintah daerah sudah banyak yang terlanjur membangun infrastruktur sekolah, tapi sekarang terbengkali dan harus dimanfaatkan untuk tujuan lain. Alasan lain yang membuat kaget adalah, dua bentuk sekolah ini ujug-ujug hadir di tengah polemik sekolah-sekolah yang terancam gulung tikar. Sekolah-sekolah negeri sudah banyak yang “tiarap” karena kalah bersaing dengan sekolah swasta. Tulisan ini merangkum empat masalah utama jika pemerintah tetap memaksakan membangun dua jenis entitas pendidikan baru. Pertama, sekolah negeri terancam tutup karena kekurangan murid. Sekolah rakyat dan sekolah unggulan tentu akan mengurangi jumlah siswa yang berpotensi atau sudah bersekolah di sekolah tertentu. Institusi pendidikan yang akan terkena dampak adalah sekolah dasar negeri (SDN). Kondisi saat ini, banyak SDN yang sudah ditutup dan terancam tak lagi beroperasi karena kekurangan murid. Jika kita browsing pada laman internet dengan kata kunci “sekolah dasar negeri kekurangan murid”, maka akan muncul sekolah-sekolah dasar di seluruh Indonesia yang hanya memiliki lima pendaftar, tiga pendaftar, satu pendaftar. Bahkan, ada sekolah yang tidak ada pendaftar murid baru. Hadirnya sekolah rakyat dan sekolah unggulan tentu akan memperparah kompleksitas permasalahan sekolah negeri. Bukan hanya SDN saja yang nantinya kehilangan murid, SMP dan SMA negeri pasti akan terimbas pula. Faktor ini harus menjadi pertimbangan lain dari Kemensos dan Kemendikti Saintek yang merencanakan membuka sejumlah sekolah baru mulai tahun ini. Kedua, bagaimana gurunya? Setelah bertanya dari mana siswanya, selanjutnya kita bertanya dari mana gurunya? Isu yang berkembang adalah, guru-guru yang akan direkrut untuk sekolah rakyat adalah tenaga pendidik yang memiliki sertifikat kompetensi dan berada di sekitaran sekolah rakyat. “Diutamakan adalah guru-guru PPG yang ada di sekitar lokasi penyelenggaraan sekolah rakyat,” ujar Menteri Sosial Saifullah Yusuf. Konsep merekrut guru existing juga masih abu-abu. Apakah guru tersebut berpindah status alias mutasi? Jika mutasi, bagaimana dengan sekolah lama? Tanpa mutasi saja sekolah existing kesulitan mencari guru tambahan. Proses mutasi tentu akan membunuh sekolah negeri secara perlahan. Apalagi pemerintah membuat kebijakan morotorium pengangkatan guru honorer. Jika tidak dengan skema mutasi, berarti guru akan dibebani tugas tambahan. Pertanyaannya adalah, apakah guru tersebut mampu mengajar di dua sekolah dengan beban mengajar yang tidak sedikit? Belum lagi mempertimbangkan waktu perpindahan antarsekolah. Ketiga, pengkotak-kotakan sekolah Banyak yang menyoroti bahwa kebijakan sekolah rakyat dan sekolah unggulan adalah bentuk diskriminasi baru dalam bidang pendidikan. Bakal muncul pengkotak-kotakan jenis sekolah. Kalau Anda pintar, Anda masuk ke sekolah unggulan; jangan masuk ke sekolah negeri biasa. Atau jika Anda berasal dari keluarga kurang mampu, Anda masuk ke sekolah rakyat, jangan ke sekolah negeri. Padahal dunia saat ini tengah bersemangat menciptakan pendidikan untuk semua, “education for all”. Pendidikan untuk semua berarti tidak boleh adanya klasifikasi sekolah miskin, sekolah pintar, dan sekolah biasa. Selain itu, ide sekolah rakyat dan sekolah unggulan ini mirip ide sekolah pada zaman kolonial. Bedanya adalah sekolah rakyat pada zaman penjajahan dibangun swadaya oleh rakyat. Sedangkan sekolah unggulan dibangun oleh pemerintah (yang sebenarnya juga memakai uang dari rakyat). Sekolah unggulan adalah bagi mereka yang pintar, seperti dari keluarga ningrat. Keempat, institusi pendidikan dasar menengah, tapi inisiasinya bukan dari Kemendikdasmen. Sekolah rakyat dan sekolah unggulan adalah institusi pendidikan. Namun, inisiasi dan pihak yang paling berdiri di garda terdepan bukan dari Kementrian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Sekolah unggulan diinisiasi dan dikoordikasikan oleh Kemendikti Saintek. Tentu ini menimbulkan kekhawatiran, mengapa Kemendikti Saintek mengurusi pendidikan dasar dan menengah? Padahal pendidikan tinggi di Tanah Air masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Sekolah rakyat juga demikian. Alih-alih digagas oleh Kemendikdasmen, sekolah ini diinisiasi Kementrian Sosial, kementrian yang tidak memiliki instrumen pendidikan sama sekali. Kemendikdasmen yang mempunyai direktorat lengkap saja masih kewalahan menangani pendidikan. Apalagi kementrian yang tidak ada kaitannya dengan pendidikan. Apakah ini yang dinamakan mengatasi masalah dengan menciptakan masalah (baru)? Dengan berbagai masukan dan kritikan dari masyarakat, seharusnya pemerintah perlu terlebih dulu melakukan kajian mendalam tentang pembangunan dua sekolah ini. Belum ada kata terlambat untuk mundur satu langkah. Jika gegabah, maka bisa terjerumus dalam jurang yang dalam. Kekhawatiran publik, program tidak berkelanjutan. Sementara infrastruktur untuk dua institusi tersebut sudah dibangun. Anggaran yang sudah terlanjur dikeluarkan akan sia-sia, hilang dan tak akan kembali. Tentu akan lebih arif jika pemerintah memaksimalkan sekolah negeri yang ada. Memperbaiki sekolah-sekolah negeri dengan fasilitas yang setara dengan sekolah swasta. Menambah jumlah guru pada sekolah-sekolah yang kekurangan tenaga pendidik. Memberikan pelatihan rutin di sekolah-sekolah sehingga guru terus mampu bersaing dengan rekan-rekannya di sekolah swasta. Bagi siswa yang kurang mampu bisa ditambah jangkauan Kartu Indonesia Pintar sehingga mereka tetap mampu bersekolah, dan mengakses pendidikan yang layak. Jika pemerintah memang ingin membangun boarding school, bangun satu saja di setiap kabupaten. Dengan begitu, siswa-siswi yang mempunyai bakat kognifif atau non-kognitif dapat digembleng dan terpusat di setiap kabupaten. Dengan memanfaatkan sekolah yang ada, maka tidak ada lagi dikotomi siapa yang mengurus siapa. Semua akan terkoordinasi satu pintu dalam naungan Kemendikdasmen. Kemensos dan Kemendikti jika ingin terlibat cukup memberikan sokongan dana. Dengan demikian, kedua kementerian tersebut dapat lebih fokus pada program utama mereka. (Red)

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *